Penulis : Wildani, S, Sos
Abstrak
Rohil(rajaonlinenews.com) - Kabupaten Kuantan Singingi (Kuansing), Provinsi Riau, merupakan wilayah yang kaya akan warisan budaya dan keindahan alam. Salah satu ikon budaya yang paling menonjol adalah Festival Pacu Jalur, sebuah perlombaan perahu tradisional yang telah menjadi identitas budaya masyarakat Kuansing.
Pacu Jalur bukan sekadar perlombaan perahu tradisional di Sungai Kuantan, melainkan cerminan kompleksitas budaya politik dan sosial masyarakat Kuantan Singingi, Riau. Tradisi ini menjadi ruang ekspresi kolektif, simbol identitas, dan alat diplomasi budaya yang kini menembus panggung global.
Fenomena viral anak pacu seperti gaya farming anak Coki menunjukkan bagaimana budaya lokal bertransformasi dalam lanskap digital dan menjadi bagian dari narasi global. Tulisan ini mengkaji dinamika politik lokal, peran sosial masyarakat, serta strategi pelestarian budaya yang melibatkan aktor-aktor lintas level dan lintas negara.
Kata Kunci: Pacu Jalur, Budaya Politik, Anak Pacu, Diplomasi Budaya, Kuantan Singingi, Sosial Digital.
1. Pendahuluan:
Tradisi yang Mengalir Bersama Sungai Kuantan
Di tengah derasnya arus modernisasi, Kabupaten Kuantan Singingi tetap teguh menjaga denyut tradisinya. Pacu Jalur, yang telah berlangsung selama ratusan tahun, bukan hanya perlombaan perahu panjang, tetapi juga perayaan kolektif masyarakat. Tradisi ini kini menjadi bagian dari Kharisma Event Nusantara, program nasional yang mengangkat kekayaan budaya daerah ke panggung internasional.
Tradisi dalam Arus Kekuasaan dan Identitas
Di tengah arus modernisasi dan globalisasi, tradisi menjadi medan tarik menarik antara pelestarian dan komodifikasi. Pacu Jalur, yang telah berlangsung selama lebih dari satu abad, bukan hanya ritual budaya, tetapi juga arena politik dan sosial. Ia menjadi simbol kekuasaan lokal, kebanggaan kolektif, dan alat negosiasi identitas di tengah perubahan zaman.
2. Budaya Politik:
Bupati Kuantan Singingi, Dr. H. Suhardiman Amby, M.M., menjadi sorotan bukan hanya sebagai peristiwa administratif, tetapi juga sebagai momentum budaya yang sarat makna. Dalam prosesi pelantikan yang berlangsung khidmat, Suhardiman Amby resmi menyandang gelar adat Datuk Panglimo Dalam, sebuah gelar kehormatan yang memperkuat legitimasi sosial dan budaya di tengah masyarakat adat setempat.
Gelar tersebut menandai sinergi antara kekuasaan politik lokal dan nilai-nilai tradisional yang masih kuat berakar di Riau. Menurut pengamat budaya politik, gelar adat seperti ini bukan hanya simbol kehormatan, tetapi juga instrumen penting dalam membangun kepercayaan dan penerimaan masyarakat terhadap pemimpin daerah.
kehadiran Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Widiyanti Putri Wardhana, yang menyatakan dukungannya terhadap pelestarian budaya lokal sebagabagian dari strategi pariwisata nasional. “Tradisi seperti ini adalah aset diplomasi budaya yang sangat berharga,” ujarnya.
Tak hanya tokoh nasional, artis internasional Melly Meke turut memeriahkan Festival Pacu Jalur, sebuah tradisi tahunan yang menjadi ikon budaya Kuantan Singingi. Kehadiran Melly Meke menandakan bahwa budaya lokal kini telah menembus batas-batas internasional, menjadikan tradisi sebagai alat diplomasi yang strategis.
Festival Pacu Jalur sendiri telah berkembang dari sekadar ajang perlombaan perahu menjadi panggung budaya yang memperkenalkan identitas daerah ke dunia luar. Tradisi ini menjadi modal sosial yang memperkuat kohesi masyarakat sekaligus modal politik dalam membangun citra daerah.
3. Anak Pacu dan Sosial Media:
Ketika Tradisi Menjadi Tren
Fenomena gaya farming anak Coki yang viral di media sosial menjadi titik balik bagaimana budaya lokal berinteraksi dengan dunia digital. Anak-anak pacu, yang dulunya hanya dikenal di lingkup lokal, kini menjadi ikon budaya pop yang ditiru oleh pesepak bola dunia dan pembalap Formula 1. Ini menunjukkan bahwa budaya bukan hanya warisan, tetapi juga produk sosial yang terus berkembang dan diproduksi ulang oleh generasi muda.
Gaya khas anak pacu saat bersiap di garis start, yang dikenal dengan ekspresi serius dan penuh konsentrasi, menjadi tren di berbagai platform digital. Video dan meme yang menampilkan gaya ini menyebar luas, menjadikan anak pacu sebagai simbol kebanggaan dan kreativitas anak muda Indonesia.
"Ini bukan hanya soal lari cepat di sawah, tapi tentang bagaimana anak-anak ini membentuk identitas lokal yang kuat dan mampu menembus batas global," ujar Pengamat Pariwisat Dolva Suhendra,S.ST.
Anak pacu kini tidak hanya dipandang sebagai atlet tradisional, tetapi juga sebagai aktor sosial yang membentuk narasi baru tentang kebudayaan. Mereka menjadi representasi generasi muda yang mampu mengemas ulang warisan budaya agar relevan dengan zaman digital.
Fenomena ini menunjukkan bahwa budaya bukan hanya warisan masa lalu, tetapi juga produk sosial yang terus berkembang. Media sosial menjadi alat penting dalam memperluas jangkauan budaya lokal, membuka peluang bagi pariwisata, ekonomi kreatif, dan penguatan identitas daerah.
4. Politik Representasi:
Festival Pacu Jalur, kebanggaan masyarakat Kuantan Singingi, kembali digelar dengan semarak. Ribuan orang memadati tepian Sungai Kuantan untuk menyaksikan perahu-perahu tradisional melaju dengan irama tabuhan dan sorak penonton. Namun di balik kemeriahan itu, tersimpan dinamika yang jauh lebih kompleks: siapa yang sebenarnya menentukan makna dari tradisi ini?
Dalam setiap penyelenggaraan Pacu Jalur, muncul pertanyaan penting tentang politik representasi. Pemerintah daerah, tokoh adat, dan influencer digital kini menjadi aktor utama dalam membentuk citra festival ini. Pemerintah mempromosikannya sebagai aset pariwisata, tokoh adat berusaha menjaga nilai spiritual dan historisnya, sementara media sosial membentuk persepsi publik yang sering kali lebih estetis daripada substansial.
Namun, tantangan besar mengintai. Di wilayah yang sama, eksploitasi sumber daya alam seperti batu bara dan emas terus berlangsung. Ironisnya, alam yang menjadi latar dan sumber kehidupan tradisi Pacu Jalur justru terancam oleh aktivitas industri. Festival budaya ini pun berisiko menjadi etalase kosong menampilkan warisan budaya yang perlahan kehilangan akar ekologisnya.
Para pemerhati budaya menyerukan perlunya politik kebudayaan yang berpihak pada masyarakat dan lingkungan. Pelestarian budaya tidak cukup hanya dengan festival tahunan, tetapi harus diiringi dengan perlindungan terhadap ruang hidup masyarakat adat dan ekosistemnya.
Festival Pacu Jalur tahun ini menjadi pengingat, bahwa tradisi bukan hanya soal pertunjukan, tetapi juga soal siapa yang berhak menentukan maknanya. Dan lebih dari itu, soal keberanian untuk melindungi warisan budaya dari ancaman eksploitasi yang terus mengintai.
5. Sosial dan Ekonomi:
Tradisi Pacu Jalur di Kabupaten Kuantan Singingi (Kuansing) bukan sekadar perlombaan perahu tradisional. Lebih dari itu, ajang tahunan ini telah menjadi modal sosial dan ekonomi yang memperkuat identitas masyarakat setempat.
Setiap tahun, ribuan wisatawan memadati tepian Sungai Kuantan untuk menyaksikan perahu-perahu panjang yang dikayuh puluhan atlet desa berlomba dengan semangat tinggi. Namun, daya tarik Pacu Jalur tak berhenti di arena lomba. Pengunjung juga disuguhkan pengalaman budaya yang autentik, mulai dari kuliner khas hingga interaksi langsung dengan kehidupan masyarakat lokal.
Kuliner tradisional seperti min-ciku, minuman khas Kuansing, dan gelamai, sejenis dodol yang legit, menjadi bagian tak terpisahkan dari ekosistem budaya Pacu Jalur. Makanan ini bukan hanya menggugah selera, tetapi juga menjadi simbol identitas rasa yang memperkaya pengalaman wisatawan.
“Pacu Jalur bukan hanya hiburan, tapi juga kebanggaan kami. Tradisi ini mengikat kami sebagai komunitas dan membuka banyak peluang ekonomi,” ujar Isnadi salah seorang warga Desa Pulau Gobah yang turut serta dalam persiapan festival.
Tradisi ini telah mendorong tumbuhnya usaha kecil dan menengah, mulai dari penginapan, kuliner, hingga kerajinan tangan. Pemerintah daerah pun terus berupaya menjadikan Pacu Jalur sebagai daya tarik wisata budaya yang berkelanjutan.
Tradisi sebagai Modal Komunitas
Pacu Jalur bukan hanya tontonan, tetapi juga sumber ekonomi dan kebanggaan sosial. Kuliner tradisional seperti min-ciku dan gelamai menjadi bagian dari ekosistem budaya yang memperkuat identitas lokal. Wisatawan yang datang tidak hanya menyaksikan perlombaan, tetapi juga mengalami kehidupan masyarakat Kuansing secara langsung. Tradisi menjadi modal sosial yang mengikat komunitas dan membuka peluang ekonomi.
6. Kesimpulan:
Festival Pacu Jalur, perlombaan perahu tradisional yang telah berlangsung selama lebih dari satu abad di Sungai Kuantan, kini menjelma menjadi simbol diplomasi budaya Indonesia di panggung global. Tradisi tahunan yang menjadi identitas masyarakat Kuantan Singingi ini tidak hanya menarik ribuan wisatawan, tetapi juga melibatkan tokoh nasional dan internasional dalam perayaan budaya yang sarat makna.
Bupati Kuansing, Dr. H. Suhardiman Amby, M.M., menjadi momen simbolik ketika gelar adat Datuk Panglimo Dalam disematkan kepadanya. Gelar tersebut memperkuat legitimasi budaya dan menunjukkan sinergi antara kekuasaan politik lokal dan nilai-nilai tradisional. Festival Pacu Jalur tahun 2025 ini, diagendakan juga dihadiri oleh Menteri Pariwisata Republik Indonesia Widiyanti Putri Wardhana dan Para Dubes serta artis internasional Asal Amerika Serikat (AS) Melly Meke, menandai pergeseran tradisi lokal menjadi alat diplomasi budaya.
Fenomena anak pacu yang viral di media sosial, seperti gaya farming anak Coki, turut memperluas jangkauan budaya Pacu Jalur. Gaya khas para atlet perahu ini bahkan ditiru oleh pesepak bola dunia dan pembalap Formula 1, menjadikan mereka ikon budaya pop yang melampaui batas geografis. Anak pacu kini bukan hanya atlet tradisional, tetapi juga aktor sosial yang membentuk narasi baru tentang kreativitas dan kebanggaan lokal.
Namun, di balik gemerlap festival, muncul pertanyaan penting: siapa yang menentukan arah pelestarian tradisi? Pemerintah daerah, tokoh adat, dan influencer digital menjadi aktor utama dalam membentuk citra Pacu Jalur. Di sisi lain, ancaman eksploitasi sumber daya alam seperti batu bara dan emas menimbulkan kekhawatiran terhadap keberlanjutan budaya dan lingkungan.
Secara sosial dan ekonomi, Pacu Jalur telah menjadi modal komunitas yang memperkuat identitas masyarakat Kuansing. Ribuan wisatawan memadati tepian Sungai Kuantan setiap tahun, menikmati perlombaan perahu panjang serta kuliner khas seperti min-ciku dan gelamai. Tradisi ini mendorong tumbuhnya usaha kecil dan menengah, mulai dari penginapan hingga kerajinan tangan, menjadikan Pacu Jalur sebagai daya tarik wisata budaya yang berkelanjutan.
Tradisi sebagai Ruang Politik dan Sosial Global
Pacu Jalur adalah bukti bahwa tradisi lokal bisa menjadi kekuatan global. Ia bukan hanya warisan, tetapi juga ruang politik, sosial, dan digital yang terus berkembang. Anak pacu yang viral, gelar adat yang politis, dan diplomasi budaya yang inklusif menunjukkan bahwa budaya adalah medan perjuangan dan harapan. Dengan pelestarian yang berkelanjutan dan partisipasi lintas generasi, Pacu Jalur akan terus mengalir, membawa semangat Indonesia ke dunia.
7. Daftar Pustaka
- Media Indonesia. (2025). Wawancara Eksklusif: Pacu Jalur dalam Kharisma Event Nusantara.
- Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif. (2025). Agenda Kharisma Event Nusantara.
- Pemerintah Kabupaten Kuantan Singingi. (2023). Pelantikan Bupati dan Wakil Bupati Kuansing.
- CAKAPLAH. Com